KH. Abdul Mukti Lahir di Pandaan, Pasuruan, pada Tahun 1896. Bagi warga Kota Malang, khususnya warga Kasin nama KH. Abdul Mukti sudah tidak asing lagi. Sosok kiai asal Pandaan, dikenal sebagai kiai yang waro’ dan mukhlis, serta ahli tasawuf.
Sejak muda, putra pertama KH Harun dari enam bersaudara ini sudah giat berdakwah, dan mengabdi di Ponpes Kauman (belakang masjid Agung Jami’ Malang), yang dirintis KH. Yasin asal Kuanyar Bangkalan. Selain itu, juga ikut berkiprah di Masjid Agung Jami’ Malang, bahkan keberadaan Kiai Mukti cukup disegani pada waktu itu oleh tentara Belanda dan Jepang.
Setelah menikah dengan Ibu Nyai Zahroh, putri ketiga KH. Yasin, Kiai Mukti diminta warga Kasin untuk menetap dan membina masyarakat Kasin, pasca wafatnya Mbah Muhammad. Karena figur ulama dan ketokohan Kiai Mukti sangat dibutuhkan. Bahkan, KH. Abdul Karim sekeluarga rela memberikan tanahnya untuk dibangun rumah dan pondok pesantren, serta Langgar Al Mukarromah (kini menjadi Masjid Al Mukarromah, dan menjadi monumen tentara Hizbullah), yang dirintis dan dikelola Kiai Mukti.
Di Ponpes Kasin itulah, Kiai Mukti yang ahli hizib itu membangun umat dan memberi semangat kepada tentara Hizbullah untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang. Para santri yang berdatangan ke ponpes, tidak hanya dari Kota dan Kabupaten Malang, seperti Gondanglegi dan Kepanjen. Tapi juga dari Pandaan, Bangil, Pasuruan, Jember, Lumajang, dan beberapa kota lainnya. Para santri selain diajar ilmu tasawuf, juga diajarkan ilmu fiqih, dengan rujukan kitab-kitab klasik (kitab kuning, yang hingga sekarang masih tersimpan ahli warisnya). Menariknya, selain ada yang nyantri untuk belajar ilmu agama, ada juga yang datang ke ponpes Kiai Mukti hanya ingin digembleng dan minta wirid atau hizib sebelum mereka ikut berjuang mengusir Belanda.
H. Umar Maksum, santri Kiai Mukti yang masih hidup, memberi kesaksian, bahwa sebagian besar tentara Indonesia, yang tergabung dalam barisan Hizbullah selalu minta doa restu, dan penggemblengan agar mereka mempunyai keberanian dan selamat dalam pertempuran. Bahkan, menurut Umar Maksum, mantan Komandan Pertempuran Hizbullah Jatim pada 1946 ini, Bung Tomo, penggerak pertempuran 10 Nopember di Surabaya sempat sowan dan minta digembleng Kiai Mukti.
Laki-laki yang kini berusia 92 tahun itu melanjutkan, bahwa waktu itu, Bung Tomo oleh Kiai Mukti, diberi wirid, dan air minum, serta dibekali dengan bambu runcing. Perjuangan Kiai Mukti pada masa penjajahan Belanda diakui, cukup besar, terutama dalam pembinaan mental dan rohani para santrinya yang ikut berjuang.
H. Umar Maksum yang pernah menerima Tanda Kehormatan Bintang Gerilya dari Presiden Suharto pada 15 Desember 1971, ini menuturkan suatu cerita khariqul ‘adah, suatu ketika, sewaktu Kiai Mukti sedang menggembleng sekitar satu kompi atau sekitar 100 tentara di pondoknya. Tiba-tiba tentara Belanda datang untuk menangkap mereka. Mengetahui hal tersebut, Kiai Mukti kemudian mengumpulkan para tentara di belakang langgar Al Mukarromah. Umar Maksum, yang meski diusia senja masih tampak sehat dan bugar itu melanjutkan, anehnya, sewaktu tentara Belanda mencari mereka di pondok, di rumah Kiai Mukti dan di langgar Al Mukarromah tidak ditemukan seorang pun tentara.
Dimata anak cucunya, Kiai Mukti yang mempunyai 17 putra-putri ini dikenal sangat penyabar, disiplin, bahkan tidak banyak bicara. Umi Rosidah, satu-satunya cucu putri, yang menjadi kesayangan Kiai Mukti, berkata, dalam menerapkan pendidikan, Kiai Mukti memberikan kebebasan kepada anak cucunya. Asalkan tidak sampai meninggalkan syariat Islam.
Umi Rosidah, putri Ibu Makiyah, putri pertama Kiai Mukti menambahkan, dalam hal bershodaqoh dan mencari nafkah, Kiai Mukti, yang juga pernah menjadi Syuriyah NU Cabang Malang selalu menekankan agar melakukan ihtiar dan mencari barokah. Tidak ngoyo dalam mencari harta, dan tidak pelit dalam mengeluarkan shodaqoh. Karena prinsipnya, sepanjang manusia itu masih bernafas, berarti masih ada rizkinya. Karena barokah keihlasannya tersebut, dulu, di pondok Kiai Mukti itu selalu datang kiriman dari masyarakat. Baik berupa beras, ketela pohon, dan beberapa bahan makanan pokok, yang ditempatkan di beberapa gudang. Namun, bahan makanan itu kembalinya juga kepada santri, tentara yang datang ke pondok, dan masyarakat sekitar Kasin.
Kiai Mukti dipanggil menghadap Allah SWT pada 9 April 1963 sekitar pukul 11.00 WIB di kediamannya di Kasin, yang sekarang menjadi Jalan Arief Margono karena sakit panas, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang.
Lahu Al-Faatihah.
Sumber: Catatan Fahmi Ali
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !